info buddhis

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 27 Februari 2012

Agama bukan bagaikan pacar baru, mantan isteri, ataupun isteri


01.15 |

Dalam memperumpamakan agama bagaikan pasangan hidup, terdapat setidaknya 4 macam perumpamaan.  Agama dapat diperumpamakan sebagai pacar baru.   Dalam hal ini, seseorang memperlakukan agamanya selayaknya ia memperlakukan pacar barunya.  Pacar baru selalu di mata kita terlihat sebagai ia yang sempurna, yang tak ada cacadnya, yang hanya membawa kebahagiaan.  Dan siapapun yang mengatakan hal-hal buruk tentang pacar baru kita, kita langsung tak senang tanpa menilai terdahulu perkataan orang tersebut.  Banyak umat beragama memperlakukan agamanya selayaknya pacar baru mereka.  Tidak boleh ada hal-hal buruk yang boleh dikatakan tentang agama mereka.  Di dalam diri mereka, agama mereka itulah yang paling sempurna, tanpa cacad, dan yang ditaruh di atas segala-galanya.    Apa kerugian orang yang memperlakukan agamanya selayaknya pacar barunya?  Matanya kabur.  Ia tak berpandangan jernih.  Ia berat sebelah dalam penilaiannya.  Ia malahan rela melakukan hal-hal yang merugikan demi agamanya.

Agama juga dapat diperumpamakan bagaikan seorang mantan isteri.  Banyak orang yang cerai karena pertengkaran yang tak henti-henti, saling dendam, dan tidak saling mengerti.  Kebanyakan orang membenci mantan isterinya, mendendam, dan tidak pernah memaafkan.  Begitu pulalah agama diperlakukan oleh segenap orang.  Misalnya, dulu ia beragama Buddha terus sekarang pindah agama.  Setelah pindah agama, agama Buddha dicacinya seperti ia mencaci mantan isterinya.  Panas dan dendam di hati.  Perumpamaan ini juga berlaku untuk agama lain yang pindah menjadi agama Buddha.  Perlakuan yang tidak profesional seperti ini tidak dianggap bijaksana.  Apa kerugiaannya? Matanya kabur.  Ia tak berpandangan jernih.  Ia berat sebelah dalam penilaiannya.  Ia malahan rela melakukan hal-hal yang merugikan karena agama yang dibencinya tersebut.

Agama juga dapat diperumpamakan bagaikan seorang isteri.  Dalam hal ini, apa yang dimaksud dengan perlakuan seseorang terhadap isterinya adalah ia merasa ia telah memiliki isterinya, tidak terdapat lagi upaya untuk mendapatkan isterinya, untuk merebut hatinya lagi.  Terdapat sifat bosan terhadap apa yang telah ia miliki.  Ia tidak seperti dulu lagi, tidak lagi manis dan tidak lagi menghidupkan suasana romantis.  Upaya telah tiada.  Yang ada hanyalah kewajiban saja, mengantar nasi ke meja makan.  Api asmara telah meredup.  Begitu pulalah orang-orang memperlakukan agama mereka.  Mereka merasa mereka telah beragama, tidak ada lagi yang perlu dikerjakan.  Selesai.  Pilihan telah dibuat.  Dan perumpamaan ini sangatlah sesuai untuk sejumlah besar umat beragama, terutama untuk mereka yang pakar dalam agama mereka.  Mereka merasa terlalu leluasa, tidak ada lagi tantangan, mereka telah mengetahuinya semua.  Apa kerugiannya bila kita memperlakukan agama kita seperti ini?  Kita tidak akan maju-maju.  Yang ada hanyalah kemerosotan seiring berajalannya waktu.  Semangat palsu menggantikan semangat asli dari hati nurani yang telah lama padam.
Kita semua pernah terperangkap setidaknya di salah satu dari 3 fase ini. Tetapi sebagai seorang yang bijak, kemampuan untuk mengkritik dan menilai diri sendiri disanjung sebagai kwalitas yang bijaksana.  Hanya orang-orang yang bersedia mengkritik dirinya sendiri dari saat ke saat yang akan maju dan berkembang.  Mereka yang lalai akan hidup angkuh dan tak berkembang.  Dan mereka yang terlalu banyak mengkritik dirinya akan hidup merana.

Nah, terdapatlah perumpamaan terakhir ini.  Ia yang memperlakukan agama selayaknya seorang bujangan mencari pasangan hidupnya itulah yang memperlakukan agama tersebut dengan baik dan benar.  Bagaimana seorang bujangan mencari pasangan hidupnya?  Ia akan jeli menilai, membanding, menguji, merenung, “Apakah cewek ini bisa menjadi seorang isteri yang baik?  Apakah ia dapat mengerti diriku?  Apakah ia cocok denganku?  Apakah kita dapat hidup bersama sampai tua?”   Bila ada yang mengatakan kepadanya, “Eh, kamu tahu gak, kalau cewek ini begini...begitu...”  maka ia akan mendengar keluhan tersebut dan menilainya sendiri benar tidaknya keluhan tersebut.  Sanjungan terhadap wanita itu juga diperlakukannya sedemikian rupa.  Begitu jugalah kita seharusnya memperlakukan agama kita.  Semua sanjungan dan kritikan harus kita terima dan teliti kebenarannya.

Mungkin kita harus kembali ke penjelasan yang diberikan sendiri oleh petapa Gotama [DN 1]:
“O, bhikkhu , seandainya orang lain mengatakan hal-hal buruk tentang diriku, ajaranku, atau perkumpulan petapaku (Sangha), engkau tidak seharusnya menjadi kesal, marah, tak senang.  Jikalau engkau menjadi marah dan tersinggung, itu hanyalah akan menghalangi petapaanmu.  Dan jikalau engkau marah dan tersinggung, bagaimana engkau dapat menilai kebenaran dari ucapan mereka?”
“Tetapi ketika orang lain mengkritik diriku, ajaranku, perkumpulan petapaku, engkau seharusnya meneliti kenyataannya...”
“Dan juga, O, bhikkhu, seandainya orang lain mengatakan hal-hal yang memuji diriku, ajaranku, atau perkumpulan petapaku, engkau tidak seharusnya menjadi senang, suka, dan gembira.  Jikalau engkau demikian, itu hanyalah akan menghalangi petapaanmu.  Tetapi engkau seharusnya mampu menilai kebenaran dari ucapan mereka...”


You Might Also Like :


0 komentar:

Posting Komentar