Seorang anak muda yang masih duduk di bangku SLTA pergi begitu saja dari sekolahnya dan rumah orang tuanya menengok candi Borobudur yang telah menjadi obsesinya sejak kecil, sejak dikisahkan oleh sang guru sejarahnya. Beratus-ratus km anak muda itu menempuh perjalanan untuk menjumpai sosok Buddha dan ajarannya yang terpatri dalam wujud batu yang diketahuinya dan dikenalnya sebagai monumen warisan dunia salah satu keajaiban dunia.
Sementara ayah dan ibunya mencari-carinya kesana kemari sebagai sosok anak yang hilang dan sang kepala sekolah serta guru-gurunya dibuat kerepotan, mungkin anak muda yang tengah bergerak sesuai dengan kata hatinya itu masih bergentayangan di jalan-jalan di pulau Jawa seraya mengibaskan tangannya mencari truk tumpangan atau berhenti sejenak di warung makan untuk hanya memohon seteguk air dan segumpal nasi bergaram.
Sang Buddha yang dikenalnya bersemayam di Borobudur begitu menggerakkan hati dan panggilan jiwanya. Daya tarik yang luar biasa seperti ungkapan “tremendum et fascinan,” “menggetarkan dan sekaligus menarik” dari candi agung itu mungkin telah bersemayam di hati anak muda itu bertahun-tahun, tersimpan di bawah kesadarannya untuk akhirnya di suatu hari tak terduga dengan begitu spontan dan berenergi menggerakkan langkahnya menyusuri jalan-jalan beratus-ratus km jauhnya.
Berhari-hari anak muda si anak hilang itu bermain-main di candi Borobudur pulang balik pagi sore berjalan kaki dari tempat tumpangan menetapnya di Vihara Mendut dengan bale-bale bambunya dan lantai tanahnya yang lembab serta bilik mandinya yang berlumut. Saat matahari menyingsing menyambut terang tanah dan manakala senja hadir menurunkan sang matahari dari tahta di langit tingginya adalah saat-saat yang begitu luar biasa, saat dimana sang jiwa mekar mengembang dibalut keterpesonaan kebesaran semesta diantara kemesraan pegunungan menoreh, merapi dan merbabu, dan saat dimata hati terterlungkup menyambut malam menjelang yang mengundang kesunyian dalam menyelami kesucian malam.
***
Mungkin, anak muda itu hanyalah salah satu dari sekian jutaaan manusia lain yang terpesona akan keagungan candi Borobudur. Banyak anak muda berbagai daerah dan Negara yang juga terobsesi akan candi Borobudur sehingga harus menengoknya seketika hati tergerak dan menempuhnya dengan cara apa pun.
Di suatu senja pada suatu waktu, ketika mendengar obrolan seniman-seniman muda di Taman Ismailk Marzuki, Jakarta, terpetik suara bahwa si seniman gondrong yang kerap berpetualang sedang berada dalam perjalanan menuju puncak Candi Borobudur, stupa Induk Borobudur hanya untuk duduk-hening bermeditasi di bawah bulan purnamana saat detik-detik Waisak menjelang.
Lainnya, segerombolan anak muda yang sedang bercengkerama pada suatu sore di sebuah warung makan di Jakarta kota, begitu menyadari bahwa malam hari yang beberapa jam lagi adalah saat datangnya malam Waisak langsung saja mereka bangkit tancap kaki menuju bandara Soekarno-Hatta, mencari pesawat menuju Yogyakarta tanpa mempedulikan ukuran kantongnya. Meski harus berhutang, mereka akhirnya tiba di candi agung tersebut dengan sempat mencicipi nikmatnya bersamadi di bawah curahan cahaya purnama saat detik-detik Waisak yang penuh kandungan energi spiritual dan menyetop semua aliran pikiran dan beragam ilusi yang ada.
Masih banyak lagi mereka yang terpesona akan keagungan Borobudur dan menariknya sebagai mandala kontemplasi sebagaimana Sang Buddha yang duduk hening bermeditasi, bersemayam dalam Borobudur telah berabad-abad lamanya. Seorang tua berpakaian adat Jawa di suatu siang menjelang perayaan Waisak, di bawah pohon Bodhi di sisi candi tampak dengan santainya menceritakan tentang tahapan spiritual Borobudur dan perilaku tapa kepada seorang anak muda Buddhis. Sementara Rabindranath Tagore dalam puisinya melukiskan Borobudur sebagai keaggungan dari manifestasi kesadaran Buddha.
Tidak disangsikan pula banyak pula anak-anak muda, beragam manusia dari manca negara beribu-ribu km jauhnya dari Borobudur, naik turun pesawat, gonta ganti kereta api atau andong atau becak dan menyusuri jalan-jalan berdebu datang hanya untuk dapat duduk bersimpuh dan duduk hening bermeditasi disisi stupa sebagaimana layaknya Buddha berabad-abad bersemayam di Borobudur, sebagai suatu perjalanan spiritual, pendakian jiwa tertinggi dan tenggelam dalam kontemplasi yang maha dalam, dalam kekosongan semesta, kedalaman jiwa, saat bersatunya makrokosomos dan mikrokosmos, ketika langit di luar dan langit di dalam bersatu dalam jiwa dan hati yang maha damai.
***
Namun adakah kini kita jumpai sikap-sikap dan perilaku meditative yang telah menjadi lakon dari nenek moyang kita dahulu kala itu? Perilaku yang menyelam ke dalam dasar batin dan mampu mendeteksi setiap peristiwa dunia hanya dalam getaran rasa, dimana suara gending, lemah gemulai penari jawa dan angin yang berhembus di perbukitan menoreh tidak terbedakan lagi kehalusan dan kelembutannya oleh mereka yang menikmati keheningan dan kesunyian.
Perilaku yang menghantar kepada sikap-sikap luhur dan mulia dimana ketertiban dan disiplin hidup menjadi ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat dan berkreasi dalam ragam seni dan budaya. Perilaku dimana setiap benda mati yang berserakan di kali progo dan sisa muntahan lahar gunung merapi itu sungguh menjelma menjadi hidup, termanifestasi dan tumbuh subur dalam bentuk candi yang mengungkapkan ketinggian jiwa dan keagangungan budi pekerti bangsa, dimana kebenaran dan kejujuran adalah tetap kebenaran dan kejujuran sebagaimana adanya (yathambhutam) tak silau oleh bungkus ayat-ayat cinta atau terbungkam oleh ayat-ayat hukum.
Perilaku dimana semuanya dapat belajar dari seonggok batu tentang hakekat kehidupan dan makna hidup bersama dimana segala apa yang terjadi dan berbuah secara lahiriah adalah berpulang dari sikap dan keadaan jiwa-batin sendiri termasuk sikap dan keadaan kebatinan suatu bangsa, dimana prasetya dalam berkarier dan komitmen dalam hidup bersama adalah nilai-nilai yang sungguh dikejar dan diperjuangkan agar integritas diri itu menyebar kemana-mana menjadi lautan kehidupan bersama yang mengukir puncak peradaban bangsa.
***
Dimana kini peradaban luhur itu berada? Dimanakah sikap dan laku itu ada terwujud di puncak Candi, puncak keheningan jiwa? Adakah Buddha yang hening dalam sikap meditatifnya masih bersemayam di Borobudur? Adakah warisan spiritual nenek moyang yang diperoleh dari para pengunjung ketika mendaki dan menuruni candi Borobudur?
“Di Borobudur tidak kutemukan apa-apa,” demikian, petikan kata dari puisi penyair Ikranegara dalam kesempatan membacakan sajaknya di Taman Ismail Marzuki di pertengahan tahun 1970-an, yang seakan menyatakan tidak ada sesuatu yang “tremendum dan fascinans,” lagi di candi agung itu, meski di pojok kamar kostnya yang gelap anak muda itu masih sempat menulis “Di Borobudur telah kutemukan sesuatu, selembut wajah Sang Buddha, setenang danau samadhi, meski hanya seonggok batu yang menjadi kerajaan abadi, dalam rupangmu, nirwana bersemayam.”
Namun tiga puluh tahun kemudian, sebuah polling yang dilakukan di jaman teknologi yang canggih dengan internetnya, Borobudur pun tercoret dari takhtanya sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Berita terbaru tentang Candi borobudur yang tidak lagi termasuk lagi dalam tujuh keajaiban dunia.
Apakah Borobudur sudah tidak ajaib lagi? Borobudur tidak lagi menjadi daya tarik utama manusia di dunia untuk mengunjunginya. Ada apa dengan Borobudur? Masih terasakankah kehadiran Buddha yang Maha Besar itu?
Apakah memang telah tidak ada lagi Buddha yang Maha Besar itu bersemayam, yang menggerakkan langkah-langkah manusia untuk datang, meyaksikan dan mengalami sendiri maha dalam keheningan itu?!
Oleh Jo. P
*) Penulis adalah Pendaki Spiritual Borobudur.
You Might Also Like :
0 komentar:
Posting Komentar