info buddhis

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 27 Februari 2012

Kontroversi Era Modern


01.43 | , ,

Telah muncul berbagai hal yang kontroversi dalam hidup bermasyarakat di zaman modern kita. Hal-hal ini tidak dibahas di zaman Buddha karena belum sesuai zamannya. Artikel ini akan membahas 2 topik kontroversi, yakni seks dan cloning (pengarasan).



A.  Seks dan homoseksual
Apakah pandangan Buddhis tentang homoseksual ? Untuk menjawab pertanyaan ini dengan lebih sistematis, marilah kita menganalisa bersama beberapa alasan khas yang melarang hubungan homoseksual:

1.  Hubungan homoseksual itu tidak alamiah
Bila seseorang mengecam kaum homoseksual dengan alasan bahwa homoseksual itu bukanlah hal yang alamiah (bukan dari awalnya demikian), maka ia juga seharusnya mengecam kaum heteroseksual dengan alasan yang sama.  Karena menurut ajaran Buddha pada awal terbentuknya dunia ini [DN 27] makhluk tidak memiliki kelamin. Kemudian perlahan-lahan tubuh mereka menjadi lebih padat (karena makan-makanan yang berzat padat). Perbedaan kelamin menjadi lebih menonjol dan pada saat itulah terdapat beberapa orang yang mulai berhubungan seks. Mereka dicaci dan dikucilkan karena pada saat itu hubungan seks dianggap tak sesuai norma.  Dan sepertinya cacian dan pengucilan terhadap kaum homoseksual terulang kembali seperti halnya dulu terhadap kaum heteroseksual. Begitulah pandangan dunia ini yang selalu berubah menurut perkembangan zaman.

2.  Kaum wanita diciptakan untuk kaum pria
Tentunya dalam ajaran Buddha tidak dikenal istilah, “Kaum wanita diciptakan untuk kaum pria.”  Bacalah Dîgha Nikâya 27 [DN 27] yang berisi penjelasan Buddha tentang evolusi—awal terbentuknya manusia di muka bumi ini.

3.   Ajaran Buddha menganjurkan pernikahan heteroseksual
Hubungan seks, baik itu homoseksual maupun heteroseksual adalah berakar pada keserakahan (lobha). Dengan sendirinya, ajaran Buddha tidak dapat menganjurkan kedua-duanya. Buddha dengan tegas melarang hubungan seks kepada para bhikkhu. Bagi mereka yang masih terikat pada kehidupan duniawi, Buddha memberikan petunjuk hidup berkeluarga yang baik [DN 31]. Tapi hal ini tidak boleh diartikan bahwa Buddha menganjurkan perkawinan. Manusia sudah hidup berkeluarga sebelum Buddha muncul di dunia ini. Dan karena Buddha menyadari bahwa tidak semua umat berkeluarga dapat (hendak) melaksanakan hidup ke-bhikkhhu-an, maka kehidupan berkeluarga tidak dilarang Beliau (tetapi tidak dianjurkan juga).

Jadi apakah ajaran Buddha memperbolehkan hubungan homoseksual ?  Mari kita meneliti kembali apa yang diajarkan Buddha kepada umat awam-Nya tentang hal yang berhubungan dengan seks.

Sebenarnya tujuan sîla adalah untuk melatih diri. Jadi sîla melatih perbuatan kita (sebagai landasan) sehingga pikiran kita nantinya akan lebih mudah terlatih (bhâvanâ), yakni terhindar dari rasa bersalah, keresahan, dan seterusnya [AN 11.1].  Bila suatu perbuatan mendatangkan keresahan dan kekhawatiran (apalagi penyesalan yang berkepanjangan), maka perbuatan tersebut seharusnya kita hindari.

Hubungan seks yang tidak baik (tercela) adalah hubungan seks yang dilakukan dengan seseorang yang telah berpasangan (telah memiliki pacar, tunangan, suami/isteri) atau dilindungi ayah, ibu, saudara, saudari, famili (relative), atau Dhamma (ajaran keyakinannya, norma wilayah setempat, dan lain-lain) [MN 41].  Jadi bila seseorang berada di wilayah yang melarang hubungan homoseksual, maka seks homoseksual seharusnya dihindari.  Bila seseorang berada di wilayah yang tidak melarangnya, maka hubungan tersebut tidak termasuk seks yang salah asalkan semua faktor di atas terpenuhi (tidak tercela). Ajaran Buddha bukanlah ajaran yang menentukan apakah segala tindak-tanduk kita itu benar atau tidak benar, baik atau tidak baik.  Diri sendirilah yang seharusnya sadar akan kerugian dari perbuatan yang tercela.

Umat Buddha dianjurkan untuk berusaha mengurangi nafsu keserakahan dan kebencian.  Jadi sudah selayaknya lah kaum heteroseksual tidak membenci kaum homoseksual. Ajaran Buddha tidak mengajarkan hal lain selain jalan menuju lenyapnya dukkha.  Jadi kurang pantaslah bila seseorang mengatakan bahwa ajaran Buddha memperbolehkan hubungan seks, baik itu heteroseksual maupun homoseksual.
Buddha telah menunjukkan katagori seks yang akan membawa pada penderitaan yang besar kepada umat awam. Dan kepada para petapa, Buddha menunjukan bahayanya segala hal yang berhubungan dengan seks.

B.  Cloning/Pengarasan
Secara umum, definisi cloning atau pengarasan adalah proses memperbanyak materi biologi yang dapat mencakup DNA, sel, tissue, organ, maupun organisme, di mana materi yang diperbanyak tersebut (clone) memiliki DNA yang sama dengan induknya. Karena DNA (deoxyribonucleic acid) menyimpan informasi genetik, maka clone memiliki informasi genetik yang sama dengan induknya. Ada 3 jenis cloning/pengarasan :

1.  DNA cloning
2. Therapeutic cloning
3. Reproductive cloning

Ketiga jenis cloning/pengarasan ini akan dibahas disusul dengan pembahasan dari segi etikanya.

1. DNA cloning
Apa itu DNA cloning ?
DNA cloning juga dikenal dengan sebutan molecular cloning, recombinant DNA technology, dan gene cloning. Sesuai definisi yang diberikan di atas, maka materi biologi yang di-clone dalam proses DNA cloning adalah DNA itu sendiri. Dengan demikian, boleh dikatakan DNA cloning adalah jenis cloning yang paling sederhana di antara ketiga jenis cloning. Ilmuwan menggunakan recombinant DNA technology untuk memproduksi protein (protein expression & purification), mentransfeksi sel (transfection) untuk mempelajari fungsi protein tersebut di dalam sel, dan untuk berbagai aplikasi biologi lainnya.

DNA cloning dari segi etika Buddhis
Karena DNA cloning umumnya tidak merugikan makhluk hidup, maka DNA cloning tentunya tidak bertentangan dengan etika Buddhis. DNA cloning merupakan teknik biologi yang digunakan secara luas dan bebas di laboratorium-laboratorium biologi di seluruh dunia.

2. Therapeutic cloning
Apa itu therapeutic cloning?
Therapeutic cloning adalah proses cloning jaringan (tissue) maupun organ, di mana hasil clone tissue/organ tersebut hanya akan digunakan untuk keperluan terapi medik. Therapeutic cloning diawali dengan proses somatic cell nuclear transfer (SCNT), di mana nucleus (inti sel) dari ovum (sel telur) diganti dengan nucleus dari sel somatik yang akan di-clone (induk). Sel somatik mencakup sel-sel tubuh kecuali sel reproduktif (sperma dan ovum). Dengan kata lain, SCNT terdiri dari 3 tahap, yakni :

1) melenyapkan/ membuang nucleus ovum,
2) mengambil nucleus somatik,
3) menaruh nucleus somatik tersebut ke dalam ovum yang telah tak bernucleus.

Jadi proses mikroskopik SCNT ini akan menghasilkan sel ovum yang nucleus-nya berasal dari (telah diganti dengan) sel somatik. Sel ovum yang memiliki genetik yang sama dengan sel somatik (induk) ini kemudian akan berkembang menjadi blastocyst (tahap awal dalam pembuahan) yang mengandung stem cell, yakni sel yang mampu berkembang (differentiate) menjadi berbagai jenis sel tubuh. Stem cell inilah yang akan kemudian dibuat (induced) berkembang menjadi tissue maupun organ.

Singkatnya, bila anda ingin mendapat jantung baru karena jantung lama anda telah mengalami kegagalan, maka ilmuwan akan mengambil sel tubuh anda (misalnya sel kulit anda), kemudian mengambil inti sel kulit anda tersebut dan memasukannya ke dalam sel ovum (dari pendonor wanita) yang telah dilenyapkan inti selnya terdahulu. Kemudian sel tersebut dibiarkan berkembang, dan stem cell yang dihasilkan akan diambil untuk dibuat tumbuh menjadi jantung baru anda.

Apa manfaat therapeutic cloning?
Manfaatnya sangat besar ! Pasien yang mengalami kegagalan jantung, ginjal, dan organ penting lainnya dapat memperoleh organ baru. Mengapa kita tidak cukup mengambil organ dari pendonor? Karena sangat sulit mencari donor yang cocok dengan kita (immunohistocompatibility). Organ yang tidak cocok akan menyebabkan immune system kita menyerang organ tersebut karena tubuh kita menganggap organ tersebut sebagai ‘asing'. Akibatnya organ tersebut akan mengalami kegagalan. Jadi manfaat therapeutic cloning itu jelas, yakni sebagai alternatif baru untuk terapi medik.

Therapeutic cloning dari segi etika Buddhis
Walau belum terdapat kesepakatan antara para ilmuwan biologi dan kaum terpelajar Buddhis lainnya tentang therapeutic cloning ini, akan tetapi jelas bahwa dalam Buddhisme sel-sel tubuh kita tak dianggap sebagai makhluk hidup. Yakni, tidak dikenal bahwa masing-masing sel, tissue, maupun organ di tubuh kita itu memiliki unsur batiniah (Pâïi: nâma). Jadi sel ovum dan sperma bukanlah termasuk makhluk hidup yang memiliki kesadaran. Tetapi setelah terjadinya pembuahan (bersatunya ovum dan sperma), maka terbentuklah secara perlahan-lahan sel-sel yang akan tumbuh menjadi janin melalui proses yang dikenal sebagai embryogenesis.

Bayi yang lahir tersebut memiliki unsur batiniah (nâma) dan fisik (rûpa). Jadi pertanyaannya adalah “Di tahap mana dari embryogenesis ini mulai terbentuknya kesadaran?”

Pertanyaan ini penting karena dalam pandangan Buddhis, makhluk hidup terdiri dari unsur batiniah (nâma) dan fisik (rûpa) [SN 12.2]. Hubungan antara unsur batiniah dan fisik ini sangat erat dan tak bisa dipisahkan. Tanpa telinga dan sistem syaraf pendengaran kita tidak akan mampu mendengar. Tanpa kesadaran yang cukup kuat, misalnya sewaktu lagi tertidur (atau selagi pingsan), kita juga tidak akan mampu mendengar suara-suara halus yang mampu kita dengar sewaktu kita terjaga. Jadi hubungan antara unsur batiniah dan fisik ini sangatlah erat dan sulit dipisahkan. Mereka saling membutuhkan. Tapi kapankah terbentuknya unsur batiniah ini dalam proses embryogenesis ?

Stem cell terbentuk sekitar 4 – 5 hari setelah pembuahan (fertilization). Dalam tahap ini, tidak ditemukan bukti-bukti adanya kesadaran. Karena kesadaran sangat erat hubungannya dengan sistem syaraf, yakni tanpa sistem syaraf kesadaran kita tidak akan berfungsi, maka patut kita melakukan penelitian kapan mulai terbentuknya sistem syaraf dalam proses embryogenesis ini. Proses terbentuknya sistem syaraf dalam embryogenesis dikenal sebagai neurulation, dan prosesnya dimulai sekitar minggu ketiga setelah pembuahan (Ref: Am J Med Genet C Semin Med Genet, 135C(1): 2 - 8). Ini adalah saat yang paling awal embrio tersebut dapat dikatakan memiliki sistem syaraf. Saat ini sistem syarafnya masih baru saja mulai terbentuk, dan tentunya masih jauh dari selesai. Oleh karena alasan inilah, maka tahap embryogenesis di hari 4 - 5 post-fertilization itu masih belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup. Dan pengambilan stem cell dari tahap embryogenesis ini seharusnya tidak dianggap sebagai pembunuhan karena belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup, yakni belum terdapat bukti telah terbentuknya kesadaran. Dari argumen ini, maka therapeutic cloning, andaikata saja dilakukan di minggu pertama pembuahan, tidak dapat disebut sebagai pembunuhan. Dengan sendirinya, praktik therapeutic cloning seharusnya tidak dianggap bertentangan dengan etika Buddhis.

3. Reproductive cloning
Apa itu reproductive cloning?
Reproductive cloning adalah proses membuat organisme baru (clone) di mana DNA clone tersebut memiliki identitas yang sama dengan DNA induknya. Proses yang digunakan dalam reproductive cloning adalah sama dengan proses therapeutic cloning, akan tetapi embrio yang terbentuk tersebut dibiarkan berkembang di dalam rahim (surrogate mother).

Apa manfaat reproductive cloning?
Berbagai manfaat reproductive cloning antara lain, teraihnya ras unggul di dalam industri peternakan yang akan menghasilkan hewan-hewan dan produk hewan yang unggul, membangkitkan kembali species yang telah punah, dan seterusnya.

Reproductive cloning dari segi filsafat Buddhis
Buddhisme berpendapat bahwa munculnya/terbentuknya makhluk hidup bukanlah berasal dari hasil ciptaan, akan tetapi berasal dari kegelapan batin [SN 12.2]. Karena kegelapan batin inilah, makhluk bertumimba lahir.

Dengan lenyapnya kegelapan batin ini, maka lenyap juga tumimba lahir ini. Di sini tidak dikenal adanya ‘ego' (roh, inti, keabadian mutlak), dan makhluk hidup terus bertumimbal lahir dikarenakan kegelapan batin ini. Ajaran ini dikenal juga sebagai hukum sebab akibat (Pâïi: paöiccasamupâda), yakni terbentuknya segala sesuatu adalah karena adanya penyebab. Dengan berakhirnya penyebab tersebut, maka berakhir pula akibatnya. Oleh karena itu, konsep reproductive cloning tidak dapat dikatakan bertentangan dengan ajaran Buddha. Cloning sebenarnya bukanlah proses ilmiah yang aneh dalam pandangan Buddisme karena Buddhisme selalu memandang segala sesuatu sebagai rantaian sebab akibat. Proses cloning hanya dapat berhasil setelah ilmuwan mengerti sebab akibatnya, yakni embrio dapat terbentuk dari hasil pembelahan sel ovum yang ber-nucleus diploid (2 set kromosom). Dengan menyediakan kondisi yang cocok untuk perkembangan embrio, maka tak heran bayi akan terbentuk. Jadi bila kondisi yang tepat ada, maka akan bersatulah unsur batiniah (nâma) dan fisik (rûpa) yang kemudian akan lahir menjadi seorang bayi.

Reproductive cloning dari segi etika Buddhis
Walau dalam aspek filsafat, reproductive cloning tidak bertentangan dengan ajaran Buddha, akan tetapi dalam aspek pragmatic (praktisnya), reproductive cloning masih mengalami banyak permasalahan teknis. Banyak bukti-bukti yang menunjukan bahwa clone memiliki abnormalitas yang belum jelas penyebabnya. Ilmuwan berpendapat bahwa inti sel yang diambil dari induk tersebut mungkin tak optimal untuk dipakai dalam cloning karena semakin pendeknya telomere (ujung DNA akan menjadi semakin pendek setiap kali sel membelah diri). Banyak clone yang tidak dapat hidup sepanjang usia induk mereka. Maka ilmuwan seharusnya memikul tanggung jawab yang berat ini, dan seharusnya reproductive cloning tidak dipraktikan, apalagi dalam skala besar, sampai setelah permasalahan teknis ini telah dapat ditanggani. Tetapi tentunya untuk menanggani permasalahan teknis ini diperlukan percobaan, eksperimen. Dan eksperimen-eksperimen ini tentunya memiliki kecenderungan- kecenderungan yang membentrok dengan etika Buddhis. Seandainya di masa depan proses cloning ini sudah tak mengalami permasalahan teknis, maka reproductive cloning mungkin akan dijadikan praktik masyarakat umum.

(Karya tulis cloning ini adalah hasil rangkuman dari pembahasan cloning berseri yang diselenggarakan di bulan April 2008 di dua tempat, yakni di Los Angeles, California, dan di Columbus, Ohio, USA. Pembicara untuk seri diskusi cloning ini mencakup Y.M. Bhikkhu Jotidhammo Maha Thera (Saõgha Theravâda Indonesia) dan Andromeda (ilmuwan biologis)).


You Might Also Like :


0 komentar:

Posting Komentar